Sebuah Upaya Pengembangan Budaya Positif
Saling Menghargai
di SMP Negeri 2 Luwuk, Kabupaten
Banggai, Sulawesi Tengah
Sekolah
merupakan institusi pembentukan karakter bagi murid. Ini mengisyaratkan bahwa
pendidik diharapkan dapat membangun komunitas di sekolah guna menyiapkan murid
di masa depan agar menjadi berdaya tidak hanya untuk pribadi, tapi berdampak
pada masyarakat.
Untuk
menciptakan lingkungan sekolah yang nyaman bagi murid, perlu adanya penumbuhan
budaya positif bagi seluruh warga sekolah. Budaya positif perlu diciptakan agar
dapat mendukung pembentukan karakter murid yang diharapkan. Untuk mengembangkan
karakter, murid membutuhkan kesempatan agar dapat berperilaku baik secara
moral. Sekolah diharapkan dapat memberikan kesempatan dan pengalaman bagi murid
dalam mengaplikasikan nilai yang sudah ditanamkan kepada mereka. Dengan cara
ini, murid juga dapat mengembangkan cara belajar yang konstruktif.
Salah
satu budaya positif yang dapat dikembangkan di sekolah adalah saling
menghargai. Wujud nyata dari sikap ini adalah toleransi (mau menerima
perbedaan). Perbedaan ini dapat berupa perbedaan pendapat, kebiasaan, fisik,
ras, dan lain-lain. Meskipun memiliki sejumlah perbedaan, persahabatan antar
sesama murid tetap bisa terjalin, karena perbedaan bukanlah penghalang
terwujudnya persatuan dan kesatuan.
Berbicara
tentang perbedaan, tentu erat kaitannya dengan keberagaman. SMP Negeri 2 Luwuk
sebagai salah satu sekolah di Kabupaten Banggai, memiliki banyak keberagaman
murid, baik dari fisik, suku, agama, ras, bahasa, budaya, kebiasaan, maupun
latar belakang sosial dan ekonomi keluarga. Keberagaman ini memiliki potensi
besar kerawanan dan kerentanan terjadinya perundungan (bullying)
antar murid. Jika perundungan ini dibiarkan terus menerus, lama-kelamaan sikap
saling menghargai yang ingin dikembangkan di sekolah bisa tergerus bahkan
menjadi hilang.
Saya
menyadari bahwa perundungan masih terjadi di SMP Negeri 2 Luwuk. Beberapa
pelaku bahkan dengan mudah melakukan secara terang-terangan dan menganggap
sebagai sesuatu yang lumrah. Hal ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena
dampak perundungan bisa berakibat fatal yang berkepanjangan.
Sekolah
sebagai “rumah kedua” bagi murid, harusnya memiliki peran aktif dalam menjaga
anak dari perundungan. Sekolah merupakan salah satu pihak yang ikut bertanggung
jawab terhadap kasus perundungan. Salah satu strategi yang dapat dilakukan
adalah dengan melakukan pembinaan kepada murid-murid tentang bahaya dan dampak
perundungan.
SMP
Negeri 2 Luwuk adalah salah satu sekolah negeri di Kabupaten Banggai yang
terletak di lokasi strategis pusat kota Luwuk, ibukota kabupaten. Sekolah ini
berada di kawasan persekolahan dimana beberapa sekolah berada dalam satu
kompleks. Setidaknya terdapat 4 SD, 2 SMP, 2 SMA, 1 SMK, dan 1 perguruan tinggi
yang menempati lokasi di kawasan yang sama tersebut. Bisa dibayangkan bagaimana
ramainya suasana jalan raya di kompleks persekolahan ini pada pagi hari saat jam
berangkat sekolah, siang hari saat pulang sekolah atau saat jam olahraga
(terdapat sebuah lapangan olahraga di kawasan ini yang digunakan bersama).
Kondisi seperti ini dapat memicu terjadinya gesekan antar pelajar antar sekolah
di kawasan tersebut.
Kondisi
lain yang dapat saya sampaikan adalah SMP Negeri 2 Luwuk berdiri di atas tanah
seluas 3310 m2 dengan 3 gedung utama berlantai dua. Jumlah rombongan
belajar yang tersedia saat ini sebanyak 22 dengan jumlah murid seluruhnya ±700
orang. Terdapat 40 orang tenaga pendidik dan 5 orang tenaga kependidikan.
Komposisi ini mungkin belum cukup ideal dalam mencegah terjadinya gesekan antar
pelajar di SMP Negeri 2 Luwuk.
Sebelum
pandemi—saat sekolah tatap muka masih
normal—saya sering mendapatkan laporan dari anak-anak tentang
perundungan di dalam kelas atau di sekolah. Misalnya diolok dengan nama-nama
yang buruk, gawai disembunyikan, dimintai uang oleh kakak kelas, ditakut-takuti
dengan binatang mainan, diancam dalam mobil angkutan umum, ditertawakan dalam
grup percakapan, dan lain sebagainya. Meskipun hal ini sudah ditangani oleh
guru, namun selalu saja kasus-kasus seperti ini terjadi berulang-ulang. Saat
program belajar dari rumah—pembelajaran jarak jauh—selama pandemi pun juga
terjadi kasus perundungan, meskipun hanya dalam grup percakapan. Padahal dalam
grup tersebut ada wali kelas yang ikut mengawasi mereka.
Saya
menyadari bahwa keadaan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Banyak dampak
buruk yang diakibatkan oleh perundungan. Untuk itu, di awal Juli 2021 saya melakukan pembinaan kepada murid-murid
SMP Negeri 2 Luwuk dalam bentuk sosialisasi anti perundungan.
Adapun
tujuan saya melakukan sosialisasi anti perundungan ini adalah ingin memberikan
informasi kepada murid tentang bahaya dan dampak perundungan di sekolah, mencegah
agar anak-anak jangan sampai menjadi pelaku atau korban perundungan, serta menjadikan
murid sebagai agen perubahan dalam mencegah terjadinya perundungan di sekolah.
Sebelum
sosialisasi anti perundungan dilaksanakan, saya melakukan pemetaan terlebih
dahulu dengan menyebarkan angket kepada murid-murid SMP Negeri 2 Luwuk. Pemetaan
ini bertujuan untuk mengetahui pengalaman murid tentang perundungan, seberapa
sering dirundung, siapa saja pelakunya, berapa orang, dimana lokasi perundungan,
dan lain-lain.
Berdasarkan
hasil angket tersebut, saya memantapkan diri untuk melaksanakan pembinaan
kepada murid-murid melalui sosialisasi anti perundungan.
Setelah
melakukan pemetaan melalui angket, saya menghadap kepala sekolah untuk
menyampaikan rencana pelaksanaan sosialisasi. Kepala sekolah pun setuju dan
bersedia memberikan sambutan saat sosialisasi. Saya juga menghubungi beberapa
guru (wali kelas) untuk meminta kesediaan murid-murid mereka sebagai peserta
pada kegiatan tersebut.
Saya
juga menjalin kerja sama dengan Yayasan Babasal Mombasa (sebuah komunitas yang
bergerak di bidang literasi, pendidikan, budaya, dan sosial kemanusiaan) untuk
mendatangkan pemateri yang akan menjadi narasumber pada kegiatan dimaksud.
Setelah berembuk, dipilihlah Andi Azis Muhammad sebagai pemateri dalam
sosialisasi tersebut.
Andi
Azis Muhammad adalah seorang relawan psikososial , putra asli Kabupaten Banggai
kelahiran Bunta, 14 Mei 1999. Saat ini Azis menempuh studi di Jurusan Psikologi
Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Sejak tahun 2017 Azis aktif di Komunitas
Relawan Psikososial Ahmad Dahlan (KORPS AD) dan sekarang menjabat sebagai ketua
KORPS AD. Azis pernah menjabat sebagai Kepala Departemen Edukasi Himpunan Pelajar
Mahasiswa Luwuk Banggai Yogyakarta (HPMLB YK) selama 2 periode berturut-turut
sejak 2018. Ia juga terpilih sebagai Gubernur Badan Kesejahteraan dan Pembinaan
Pelajar Mahasiswa Indonesia Sulawesi Tengah - DIY (BAKEPPMIST DIY) periode
2020-2022. Pengalaman kerelawanannya teruji saat menjadi Relawan Psikososial
Pada bencana alam gempa bumi tsunami likuifaksi Palu Sigi Donggala dan Relawan
Psikososial pada bencana alam gempa bumi Lombok.
Pelaksanaan
sosialisasi dilaksanakan pada hari Sabtu, 10 Juli 2021 pukul 08.00 wita sampai
dengan pukul 11.00 wita. Seyogyanya acara sosialisasi ini diadakan secara
luring penuh di SMP Negeri 2 Luwuk. Namun, sehari menjelang pelaksanaan
sosialisasi, terbit Surat Edaran Bupati Banggai Nomor 440/1388/Dinkes tentang
Pengendalian Penyebaran Covid-19 dengan perpanjangan Pemberlakukan Pembatasan
Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro. Pada point 6 surat edaran itu menyebutkan
bahwa “pelaksanaan seminar, pertemuan, sosialisasi, penyampaian aspirasi
dalam bentuk kerumunan dan pelaksanaan akad nikah/pesta perkawinan di rumah dan
hotel ditunda dan/atau tidak diperbolehkan”. Surat edaran
tersebut sempat membuat saya kaget karena sudah mempersiapkan segala sesuatunya
dengan baik, termasuk tempat sosialisasi sudah dibersihkan dan semua peserta
sudah menyatakan diri siap datang ke acara tersebut dengan protokoler kesehatan.
Saya memutar otak dan dalam waktu singkat mengubah format acara yang digunakan,
yaitu dari moda luring penuh menjadi moda daring dengan menggunakan aplikasi zoom.
Pemateri
juga sempat kaget dan tidak bersedia jika kegiatan diubah ke moda daring karena
pemateri tidak siap dengan format tersebut. Namun saya berupaya
mengkomunikasikan dan menjelaskan tentang adanya surat edaran Bupati dan sanksi
yang didapatkan jika surat edaran tersebut dilanggar. Pemateri pun akhirnya
bersedia dengan format daring yang ditawarkan.
Saya
juga dengan segera menghubungi murid dan menyampaikan format acara yang sudah
diubah. Alhamdulillah, murid-murid menyatakan bersedia hadir secara virtual.
Peserta yang awalnya dibatasi hanya 30 orang (format luring), diubah menjadi
maksimal 100 orang sesuai kapasitas zoom meeting premium.
Pada
hari H pelaksanaan sosialisasi (Sabtu, 10 Juli 2021), peserta yang hadir
berkisar antara 70 – 80 orang. Jumlah ini naik turun karena jaringan yang
kurang stabil membuat beberapa peserta berkali-kali ‘keluar masuk’ ruang zoom.
Peserta mengikuti acara sosialisasi dari rumah masing-masing. Pemateri berada
di perpustakaan Yayasan Babasal Mombasa, sedangkan saya berada di laboratorium
komputer SMP Negeri 2 Luwuk. Saya memulai kegiatan sosialisasi dengan
memberikan pengantar terlebih dahulu kepada peserta, kemudian dilanjutkan oleh
pemateri hingga selesai. Alhamdulillah kegiatan berjalan dengan lancar.
Sebelum
menutup sesi, pemateri mengajak peserta untuk membuat dan mengisi Johari
Windows (Jendela Johari). Johari Windows adalah teknik memahami hubungan
manusia dan manusia atau hubungan antara diri dan orang lain. Teknik ini
diciptakan pada tahun 1955 oleh 2 (dua) orang psikolog Amerika, Joseph Luft
(1916-2014) dan Harrington Ingham (1914
– 1995). Johari adalah gabungan nama mereka berdua.
Di
bagian akhir, pemateri memberikan penguatan kepada seluruh peserta untuk selalu
menumbuhkan rasa percaya diri, meningkatkan prestasi, serta menjalin pertemanan
dengan banyak orang agar terhindar dari perundungan. Peserta juga diingatkan
untuk tidak melakukan perundungan kepada siapapun dengan menumbuhkembangkan
sikap saling menghargai kepada seluruh warga sekolah.
Setelah
kegiatan sosialisasi anti perundungan, dampak pada murid belum dapat terlihat
secara langsung di sekolah karena murid-murid belum diizinkan untuk datang
akibat masa pandemi yang berkepanjangan. Dampak program terlihat secara daring
pada percakapan-percakapan grup wa. Murid yang sebelumnya bicara agak kurang
sopan dalam grup, kini mulai santun dalam berkata-kata. Mereka juga mulai
membiasakan diri mengucapkan kata-kata seperti ‘tolong’, ‘maaf’ dan ‘terima
kasih’. Beberapa murid juga membantu menegur jika ada murid lain yang masih
merundung teman dalam percakapan.
Saya cukup puas
dengan Aksi Nyata yang dilakukan. Penumbuhan budaya positif ‘saling menghargai’
melalui sosialisasi anti perundungan dapat menumbuhkembangkan sikap peduli
kepada sesama. Namun saya menyadari bahwa hasil aksi nyata yang saya lakukan
belum tentu segera terlihat dalam jangka waktu pendek. Ini adalah perkara
jangka panjang dalam membangun atmosfer lingkungan sekolah yang positif dan
nyaman.
Pembelajaran yang saya dapatkan dalam Aksi Nyata ini adalah pentingnya menyiapkan rencana kegiatan dengan baik. Perencanaan yang kurang matang dan terburu-buru mengakibatkan kegiatan berjalan kurang baik dan tidak maksimal. Pembelajaran lain yang saya peroleh adalah pentingnya kerja sama antara pihak sekolah dengan berbagai komunitas di luar sekolah. Keberadaan komunitas-komunitas ini dapat dimanfaatkan oleh sekolah dalam membantu menumbuhkembangkan budaya positif di sekolah serta membantu murid dalam mengembangkan diri sesuai kemampuan mereka.
Rencana perbaikan yang akan saya lakukan adalah terkait publikasi kegiatan. Saya merasakan bahwa publikasi yang dilakukan belum maksimal. Ini terbukti saat kegiatan sosialisasi secara virtual hanya sekitar 70 – 80 murid yang bersedia mengikuti kegiatan sampai selesai. Saya juga berencana memperluas cakupan pembahasan materi sosialisasi, termasuk penyisipan ice breaking dan permainan-permainan kecil secara virtual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar