Senin, 24 Oktober 2016

Tak Perlu Jadi Monster...


Mungkin kita tak bisa mengingat semua nama guru SD kita, atau membayangkan semua wajah guru SMP kita, atau bahkan menirukan semua gaya mengajar guru SMA yang sering kita leluconkan di depan teman-teman kelas saat jam kosong. ya itu mungkin. bisa ya dan bisa pula tidak...
tapi kita masih bisa mengingat sedikitnya satu atau dua, bahkan sampai lima orang guru. entah itu guru SD, SMP, atau SMA.
Apa yang kau ingat darinya...??? namanya saja? wajahnya? ciri khas mengajarnya? atau hukuman yang sering ditimpakan padamu?
mmmm....bagian terakhir itu yang ku "suka"...

Aku masih bisa mengingat (dengan jelas sekali) bagaimana guruku (tak perlu kusebutkan who, when, where) mencubit wilayah hidungku yang mekar (yang ini tak kuingat, kiri atau kanan) saat aku tak bisa menyelesaikan algoritma operasi aljabar pada pecahan...
sakit. ya sakit. teramat sakit bahkan. sampai mataku berkaca-kaca. mungkin dengan satu kedipan saja kaca itu akan pecah dan berhamburan keluar dari mataku.
Lantas...apa dia guru yang kuingat..??? tentu...dan pasti. Sebab kalau tidak bagaimana mungkin aku dapat memvisualisasikan detik-detik dia menekan hidungku dengan kuku-kukunya yang tajam.

Beberapa tahun yang lalu aku memutuskan untuk menjadi guru. Guru matematika tepatnya. Lantas, apakah aku terinspirasi dari "si penjepit hidung itu"...??? apa aku juga me'mirip'kan diri dengannya..???
aku tak tahu...aku tak bisa menilai diriku...

sampai suatu ketika aku bertemu dengan beberapa mantan siswaku di sebuah mini swalayan. hai pak...,apa kabar, bla bla bla dan segala basi-basi yang kami bicarakan. Sebelum mengakhiri pembicaraan, si anu bertanya, "apa pak masih menyimpan mistar yang dulu dipakai untuk menghukum kami...???"
OH MY GOD...aku terperangah...mengingat jaman-jaman culun menjadi guru. Seganas itukah diriku..??? astagaaaa....malu sekali rasanya. mereka mengingat bagian terburuk dari diriku...seperti aku mengingat si penjepit hidung itu. Mungkinkah ini karma dengan alur mundur ...???

malam itu aku tak bisa tidur, kata-kata dari mantan siswaku itu terus berhembus di selasar telingaku. dari kiri ke kanan, bolak balik, begitu seterusnya. Kucari bahan bacaan bertema psikologi. entah itu psikologi pendidikan, psikologi remaja, psikologi perkembangan anak. psikologi belajar dan masih banyak lagi.
pagi ku terjaga dengan mata sembab, kepala berat, dan badan lemas. Lampu laptop dengan indikator lowbat berkedap kedip. Aku tak tahu apa yang terjadi semalam.

Aku bergegas. Memaksakan diriku ke sekolah. Mencoba semangat dengan langkah yang ditegapkan...
Aku masuk kelas. Kulebarkan senyum, selebar tiga jari (tanpa jempol). senyum ala teller bank swasta di depan nasabah. Hari itu tanpa mistar, tanpa urat wajah yang putus, tanpa suara meninggi, tanpa periksa PR, tanpa periksa tugas sekolah, tanpa Matematika. Ah, persetan dengan pelajaran itu.
Anak-anak terperangah dengan 'topeng' yang kupakai hari itu. Mungkin mereka mengira akulah Mr.Bean dengan hidung lancipnya, atau dono kasino indro yang siap berkelakar.
tiba-tiba aku jadi bersemangat. aliran darahku terasa lancar. air muka anak-anakku sontak berubah ceria. kamipun melupakan matematika. Aku merasakan suasana seperti ritual salam-salaman ala tetangga pasca sholat id di mesjid.

hari itu aku merasa ringan. ringan sekali. seperti kapas putih dengan semburat debu yang menyelimutinya. bahagia. bahagia sekali. mengalahkan rasa bahagia ketika membaca sms banking yang mengatakan bahwa dana sertifikasi telah tercetak seluruh buku-buku nasabah.

terimakasih anak-anakku...
kalianlah sebenarnya yang membuat aku belajar...
hari itu aku belajar bagaimana seharusnya belajar...




Tidak ada komentar:

Posting Komentar